Sebesar 30 persen emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pertanian dan produksi makanan
Kue
rangi Betawi sama seperti kue rangi dari Jawa Tengah. Hanya rasa yang
berbeda dari kue ini. Kue rangi Betawi tidak semanis kue rangi Jawa
karena kue ini tidak menggunakan pemanis dari sari aren. Menurut
informasi dari penjualnya, sari aren sudah sulit ditemukan di Jakarta.
(Fetry Wuryasti/Fotokita.net)
Sebesar 30 persen emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor
pertanian dan produksi makanan. Maka produk makanan yang bahan bakunya
dihasilkan tak jauh dari rumah, akan menurunkan emisi pula. Jejak karbon
adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau
kelompok saat melakukan kegiatannya dalam rentang waktu tertentu.
"Ini
terkait pengangkutan makanan tersebut sampai tempatnya disantap. Dengan
berkurangnya jarak tempuh makanan, berkurang juga kebutuhan pendinginan
untuk mencegah pembusukan," ungkap Amanda Katili Niode, Koordinator
Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi DNPI (Dewan Nasional Perubahan
Iklim) di dalam forum diskusi antara sejumlah instansi pemangku
kepentingan dan organisasi yang diadakan di Jakarta, Selasa (21/5).
Sebagai
narasumber diskusi, Arie Parikesit, pegiat kuliner sekaligus merupakan
pendiri Kelanarasa Culinary Solutions--perusahaan yang bergerak dengan
visi mencintai kuliner lokal, menuturkan kekayaan pangan lokal nusantara
dari pengalamannya.
Menurut Arie, begitu kaya bahan pangan lokal
kita yang dapat dimanfaatkan dan dibawa mendunia. Ia juga mengangkat
studi kasus pemberdayaan bahan pangan lokal yang diterapkan di negara
Jepang dan Thailand.
"Dimulai dari Provinsi Oita, Jepang selama
20 tahun terakhir melalui program One Village One Product (OVOP),
mencari satu produk unggulan yang merefleksikan karakteristik daerahnya,
dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada pemerintah. Kini sudah ada
kira-kira 300 OVOP," Arie menerangkan.
Pemberdayaan makanan
lokal ini, lanjutnya, juga memerlukan salah satunya unsur kreativitas.
Di komunitas pedesaan Oita, jeruk limau diolah menjadi liquor (minuman) yang disebut kabosu.
OVOP
dianggap sukses kemudian diadopsi oleh Thailand di bawah pemerintahan
Thaksin Shinawatra, dengan nama OTOP atau One Tambon (berarti subdistrik
atau kecamatan) One Product, yang bertujuan mendukung pelestarian
produk lokal. Strateginya, toko-toko OTOP ditempatkan di setiap kota dan
area wisata.
"Saya rasa, program ini juga bisa diadopsi untuk
[negara] kita. Di tiap-tiap kabupaten, misalnya. Mungkin sekarang sudah
digalakkan di beberapa daerah oleh pemda setempat, tapi sebaiknya
menjadi sebuah standar nasional," imbuh Arie.
Faktanya di
Indonesia saat ini terdapat bahan makanan yang secara kuantitatif dan
kualitatif tidak memadai untuk suatu daerah, lalu perlu didatangkan dari
tempat lain yang berjarak jauh, bahkan yang perlu diimpor.
Padahal
dengan memahami sumber daya yang digunakan untuk produksi makanan pun
akan berpengaruh terhadap perubahan iklim, perilaku konsumen dapat
diubah sehingga memilih makanan yang lebih ramah lingkungan, kembali ke
makanan lokal.
(Gloria Samantha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar