Cari

Loading

Rabu, 23 Oktober 2013

angan Lokal di Kantin Sekolah

LARANTUKA, FBC: Kantin Sekolah telah menjadi kebutuhan di hampir setiap sekolah. Bahkan menjadi salah satu indikator dalam akreditasi sekolah. Tetapi bukan karena menjadi salah satu aspek penilaian dalam akreditasi sehingga sekolah perlu memiliki kantin. Dari berbagai aspek, antara lain aspek kesehatan, kantin menjadi sangat strategis di sekolah.
Hal ini pernah  dikemukakan dokter Yosef  Kopong Daten dalam rangkaian kampanye dan sosialisasi pangan lokal di sekolah yang berlangsung bulan Agustus dan September di Flores Timur.
Berbicara mengenai pangan lokal di sekolah, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Flores Timur, saat ini tengah memprakarsai  pendidikan dan kesadaran tentang pangan lokal.  Dalam kegiatannya, YPPS mengandeng berbagai unsur penting terkait pangan dan kesehatan, antara lain Dinas Pertanian dan Peternakan kabupaten Flores Timur, Tim Penggerak PKK kabupaten Flores Timur dan kecamatan Larantuka serta dokter pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Flores Timur di Larantuka.
Sosialisasi pangan lokal di sekolah  berlangsung di tingkat sekolah dasar untuk empat sekolah di kota Larantuka dan dua sekolah di kecamatan. Di kota Larantuka berlangsung di SDK Waibalun 1, SDK Larantuka 1 dan 2 serta SD Inpres Lewolere. Sementara yang berlangsung di kecamatan adalah di SDK Riang Rita di kecamatan Ile Bura dan SDK Riangkemie di kecamatan Ilemandiri.
Menurut dokter Yosef, kantin sekolah memiliki nilai strategis  dari aspek kesehatan lantaran setiap empat jam, lambung harus terisi makanan.  “Hal ini tentu sulit bagi anak-anak sekolah untuk kembali ke rumah setelah empat jam berada di sekolah. Karena itulah, di sekolah perlu kantin sekolah,” kata dokter  saat sosialisasi di sekolah yang melibatkan para guru dan orang tua wali.
Dokter Yosef mengingatkan, masih dalam tataran kesehatan dan pencernaan, makan kenyang menyebabkan oxigen di otak berkurang sehingga orang cenderung lelah dan mengantuk. “Untuk itulah, kantin sekolah sebatas menyediakan makanan ringan agar dalam kurun waktu setelah empat jam di sekolah, lambung selalu terisi,”ujarnya.
Walau demikian, faktor higienis sebuah kantin perlu menjadi perhatian utama sekolah maupun pengelola kantin. Sebab hadirnya kantin sekolah bukan sekedar menyediakan makanan untuk anak-anak dan para guru, tetapi memikul fungsi kesehatan bagi lingkungan sekolah.
Untuk itu, dokter Yosef meminta agar aspek kebersihan dan kesehatan dalam pengelolaan kantin mesti menjadi perhatian. Kepada para pengelola kantin di setiap sekolah yang dikunjungi, dokter Yosef juga memaparkan syarat-syarat dan ciri makanan yang sehat serta hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar kualitas makanan untuk kantin juga terjamin. 
Selain perlakuan dan tata cara pengelolaan bahan makanan untuk kantin, jenis dan sumber pangan juga turut menentukan kualitas makanan di kantin sekolah.
Pastor Petrus Nong Lewar, SVD yang menjadi salah satu anggota dalam tim sosialisasi pangan lokal di sekolah mengatakan, salah satu aspek yang menentukan kualitas kesehatan makanan di kantin sekolah adalah jenis dan asal bahan makanan. 
Ia menegaskan, makanan sehat dan bergizi juga ditentukan oleh jenis bahan makanan dan dari mana bahan makanan itu berasal. Pastor yang bertugas di paroki Hokeng, Keuskupan Larantuka ini sangat yakin secara pribadi jika bahan-bahan pangan lokal bisa diandalkan dan menjamin mutu kesehatan.
“Pangan lokal itu umumnya masih segar dan bebas dari zaat pengawet makanan. Pangan jenis ini sehat untuk anak-anak”, demikian kata pastor Petrus Nong Lewar, SVD.
Namun di pasar, demikian lanjutnya, sedang terjadi diskriminasi terhadap pangan lokal. Hal ini yang tentunya akan berimplikasi juga terhadap kantin sekolah jika kurang ada pemahaman yang benar tentang pangan yang sehat. Bisa saja, kantin sekolah diisi aneka makanan instan yang diimport dari luar daerah. 
Apa yang diungkapkan Pater Pietmendapat tanggapan positif dari pengelola kantin, para guru maupun orang tua wali murid yang hadir. Refleksi pengalamanpun bermunculan. Umumnya pengalaman menjadi referensi atas alasan kesehatan yang dikemukakan dokter Yosef.
Di desa Riang Rita, sejumlah orang tua yang hadir berbagi pengalaman hidup sehat dengan pangan lokal pada masa silam. “Saat ini, selalu saja ada warga yang menderita kolestrol, asam urat bahkan stroke. Padahal di masa lalu, walau dengan standar kesehatan yang belum menjadi perhatian, masyarakat umumnya sehat dan hidup sampai usia lanjut,” demikian salah satu curah pendapat dari orangtua wali yang hadir. 
“Hal ini mungkin karena pada masa itu masyarakat belum mengenal berbagai makanan instan, zat pewarna kimia dan zat pengawet,” timpal peserta yang lain. 
Wakil Ketua PKK kabupaten Flores Timur ibu Agnes Ina Deran mewakili Forum Pangan Lokal Flores Timur  menyerahkan dukungan kantin sekolah di SDK Waibalun 1. Dihadapan kepala sekolah dan para guru, istri wakil bupati Flores Timur ini mengatakan, dari aspek kesehatan, pangan dari bahan lokal masuk kategori sehat. Namun demikian, jenis pangan ini kurang diminati oleh anak-anak. Karena itu, pengelola kanton sekolah perlu memiliki keterampilan pengolahan sehingga menarik bagi anak-anak.
Sebelumnya, YPPS dan Forum Peduli Pangan Lokal Flores Timur telah memfasilitasi latihan pengolahan aneka makanan dengan bahan dasar pangan lokal seperti jagung, ubi-ubian, jacang jewawut dan beras ketan. Latihan ini dipandu ketua tim penggerak PKK Kecamatan Larantuka sekaligus staf gizi Rumah Sakit Umum Daerah Larantukam, ibu Leny da Santo.*** (Melky Koli Baran)

Sumber: Flores Bangkit

Angkat Pangan Lokal Lewat Kue Simping Ala Mahasiswa UGM



Permasalahan diversifikasi pangan, defisiensi gizi, dan kurangnya pemberdayaan sumber daya manusia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan masih menjadi permasalahan di Indonesia. Defisiensi gizi di kalangan masyarakat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan dan menghambat tercapainya kesejahteraan sosial. Di sisi lain, di kalangan masyarakat Indonesia juga telah berkembang gaya konsumsi pangan lokal, pangan sehat, dan back to nature.

Menyikapi isu tersebut, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada yang terdiri dari Maya Septavia S., Pustika Adwiyani, Fajar Dwi Cahyoko, Zesy Ayu Tri Astuti, dan Gian Handika memformulasikan produk olahan pangan lokal melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan (PKMK) FRUTAGE : Fruity and Vegetable Compo Sempe.  Mendengar istilah sempe (simping) mungkin asing bagi kawula muda, tetapi tidak demikian kiranya bagi mereka yang mempunyai kenangan dengan makanan tradisional ini.

“Bentuknya mirip kue dolar atau mini-crepes, rasanya mirip kue semprong, dikombinasikan dengan bahan-bahan alami berbahan dasar tepung beras, mocaf, dan pasta buah atau sayuran yang diperoleh melalui budidaya pertanian organik yang terintegrasi,”kata Maya, Rabu (26/6).

Maya menambahkan pembuatan sempe menggunakan bahan dasar yang mempunyai aktivitas fisiologis dengan memberikan efek positif bagi kesehatan masyarakat. Inovasi FRUTAGE Fruity and Vegetables Compo Sempe adalah penggunaan tepung komposit dari tepung ketan dan tepung mocaf disertai inisiasi buah dan sayur organik sebagai pasta perisa dan bahan fortifikasi nutrisi yang diperoleh dari seperti susu dan kacang-kacangan untuk menambah cita rasa, tekstur, dan nilai gizinya.

“Dalam perkembangannya, FRUTAGE dibuat dengan bahan-bahan tepung lokal dan mendapat respon positif dari penggemarnya,”katanya.

FRUTAGE Fruity and Vegetables Compo Sempe hadir sebagai produk inovatif berbahan baku tepung mocaf dengan varian rasa yang bernutrisi vitamin A, zat besi, iodium, dan asam folat. FRUTAGE dibuat dengan komposisi yang ideal memadukan tepung beras ketan, tepung mocaf, susu, dan varian tepung maupun pasta buah dan sayur sumber vitamin A, zat besi, iodium, dan asam folat.

“Tujuan penggunaan tepung komposit adalah untuk diversifikasi pangan dan pemanfaatan kearifan lokal dengan teknologi berbasis integrated sustainable ecoindustry untuk memberikan dampak positif bagi lingkungan industri dan wilayah penghasil bahan baku,”katanya.

Melalui Program Kreativitas Mahasiswa 2012-2013 ini, FRUTAGE mengangkat nilai-nilai pangan lokal pada kue simping menjadi camilan lokal berkelas dan bernilai gizi, dan sehat tanpa pengawet, pemanis, maupun pewarna sintetis. FRUTAGE telah terdaftar PIRT dan melalui proses uji kimia. Jangkauan pemasaran produk ini sudah melingkupi wilayah Yogyakarta, Solo, Purworejo, hingga Sumatera Selatan dengan segenap reseller dan konsinyasi yang tersebar di daerah tersebut. Untuk mengenal lebih dekat tentang FRUTAGE, tim PKMK FRUTAGE telah menyediakan space online di web www.bisnisukm.com/ +nucifera-pangan-makmur. (Humas UGM/Satria AN)

Sumber: UGM

Pangan Sehat Berbasis Pangan Lokal



SOLO, KOMPAS.com - Tersedianya pangan yang aman dan bergizi menjadi hak masyarakat. Oeh karenanya perlu mendapat perhatian besar. Pangan sehat yang terjamin keamanan dan kualitas gizinya dapat menjamin berlangsungnya regenerasi yang sehat dan produktif. Bahan pangan lokal dinilai sebagai sumber strategis yang dapat mendukung terwujudnya sistem pangan sehat.
"Pengarusutaman pangan sehat merupakan upaya membangun gerakan bersama. Ini sebagai strategi mewujudkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap pangan sehat," kata Koordinator Wilayah Program Healthy Food Healthy Living Veco Indonesia Wilayah Solo Raya, Buddhi Hastanti Pancarini, Rabu (19/3/2013).
Keamanan pangan terkait dengan proses dari hulu ke hilir, mulai dari produksi, penyimpanan, distribusi, hingga pengolahan di rumah tangga. Dengan adanya pengarusutamaan pangan sehat (PUPS), diharapkan ada jaminan seluruh proses tersebut dilindungi oleh kebijakan pemerintah yang telah memperhatikan pangan sehat dengan pangan lokal sebagai basisnya. "Harapan kami, gerakan ini akan bermuara pada munculnya Peraturan Daerah atau Peraturan Wali Kota tentang pangan sehat," kata Buddhi.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Darsono mengatakan, keamanan pangan semestinya tidak hanya dilihat dari aspek biologi, fisik, dan kimia, melainkan juga genetik. Pasalnya, dampak faktor genetik baru akan terlihat 10-20 tahun mendatang. Ia mencontohkan, kedelai transgenik yang berasal dari hasil rekayasa genetika.
"Kedelai ini gen-nya tidak lengkap sehingga jika dikonsumsi tubuh akan memberi dampak negatif bagi tubuh. Bangsa kita gemar makan tahu tempe, itu bagus. Namun sayangnya, 70 persen bahan bakunya, yakni kedelai masih impor dan kemungkinan besar transgenik. Ini perlu diwaspadai," kata Darsono.
Ketua Jaringan Epidemiologi Nasional Bhisma Murti mengatakan, pangan sehat berdampak besar pada status gizi dan status kesehatan masyarakat. Anak-anak yang mengonsumsi pangan tidak sehat, di masa dewasanya mudah terkena berbagai penyakit sehingga dapat menurunkan produktivitasnya. Pengarusutamaan pangan sehat, menurut Bhisma, perlu memperhatikan aspek ketersediaan, akses, dan penggunaan pangan.
Sekretaris Daerah Kota Solo Budi Suharto mengatakan, Pemerintah Kota Solo menyambut baik gerakan ini dan menunggu draf akhir program PUPS. Pihaknya telah berupaya menyosialisasikan pangan lokal sebagai sumber gizi masyarakat. Salah satu kegiatan, yakni Grebeg Pangan yang menampilkan gunungan berisi makanan olahan dari pangan lokal, seperti singkong, ubi, dan gembili, dan lainnya.


Sumber: Kompas

Diversifikasi Pangan Lokal, Jateng Budidayakan Minyong


dok.timlo.net/dhefi nugroho
dok.timlo.net/dhefi nugroho
Menteri Pertanian Suswono didampingi Wagub Jateng Heru Sudjatmoko dan Walikota Solo Hadi Rudyatmo saat pencanangan Diversifikasi Pangan Lokal, di Taman Balekambang, Jumat (4/10)


Solo –  Masyarakat diminta untuk mulai melakukan diversifikasi pangan dengan berbasis bahan baku lokal. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi krisis pangan dunia.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengungkapkan, meningkatnya jumlah penduduk dunia pada beberapa dekade mendatang mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan dunia. Hal itu menjadi tantangan berat bagi masing-masing negara untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
“Diperkirakan pada 2045 nanti, penduduk dunia menjadi 9 milar jiwa. Kebutuhan pangan akan meningkat menjadi 70 persen,” katanya saat menghadiri Pencanangan Diversifikasi Pangan Lokal di Taman Balekambang, Solo, Jumat (4/10).
Kementerian Pertanian (Kementan) sendiri kini melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mulai melakukan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Masyarakat diminta untuk beralih mengkonsumsi makanan pokok selain beras (padi).
“Banyak makanan pokok selain padi di sekitar kita yang bisa dikonsumsi. Di Jawa Tengah sendiri kami mulai membudidayakan bahan lokal seperti minyong (mie-ganyong) dan beras mutiara, yakni campuran antara jagung dan mocaf,” kata Wakil Gubernur Jateng, Heru Sudjatmoko.
Bahkan, Heru juga mengajak kepada semua kepala daerah yang ada di Jateng untuk mencanangkan program sehari tanpa makanan beras (padi). “Bisa dimulai dan disosialisasikan, sehari dalam seminggu tanpa makan nasi. Tujuannya untuk mengembangkan diversifikasi berbasis bahan pangan lokal,” terangnya.

Sumber: Timlo

Selasa, 08 Oktober 2013

Wonogiri Bakal Kembangkan Beras Analog

Contoh beras analog dan mi mocaf disimpan di Kantor Ketahanan Pangan Wonogiri. Contoh tersebut ditunjukkan pada sejumlah KUB yang pekan lalu mengambil bantuan alat produksi ke kantor tersebut. (Tika Sekar Arum/JIBI/Solopos)



Solopos.com, WONOGIRI–Kabupaten Wonogiri bakal mengembangkan beras analog.  Makanan pengganti beras itu dibuat dari produk pangan lokal yang banyak tersebar di masyarakat, yakni singkong dan jagung.
Pengembangan beras analog itu merupakan bagian program Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) yang di Provinsi Jawa Tengah hanya diberikan kepada Kabupaten Wonogiri, Kebumen, dan Temanggung. Di Wonogiri, program tersebut baru diberikan kepada satu kelompok, yakni Kelompok Usaha Bersama (KUB) Bimocaf, asal Dusun Johunut, Desa Johunut, Kecamatan Paranggupito.
Ketua Bimocaf, Wahyudi, mengatakan awal September lalu pihaknya menerima seperangkat alat untuk pengembangan pangan pokok lokal dari program MP3L. Ada tiga bentuk makanan yang menjadi sasaran, yakni mi, makanoni, dan beras. Khusus mi, kelompoknya sudah berhasil membuat mi dari tepung modified cassava flour (mocaf), dengan bahan baku delapan bagian tepung mocaf dan satu bagian tepung terigu.
“Mi sudah berhasil. Sudah kami pasarkan juga, harganya Rp12.000 per kilogram (kg). Banyak pesanan, ya sekitar 25-30 kg per hari. Yang beras analog, baru akan dimulai. Sekarang sudah jalan pembelajarannya,” ungkap Wahyudi, saat dihubungi Solopos.com, Rabu (2/10/2013).
Beras analog adalah makanan terbuat dari tepung singkong dan tepung jagung dengan bentuk persis seperti beras. Namun warnanya tidak melulu putih, warna beras analog bisa disesuaikan dengan keinginan pembuatnya. Menurut Wahyudi, membuat beras analog sebenarnya tidak sulit. Apalagi, pihaknya kini sudah menerima cetakan untuk membuat beras analog tersebut. Hanya saja, di kalangan masyarakat bagian selatan Wonogiri, pembuatan beras analog terkendala bahan baku tepung jagung.
Dia mengaku untuk menyediakan tepung singkong dalam bentuk tepung mocaf tidak ada masalah, namun mencari tepung jagung agak sulit. Padahal beras analog dibuat dari satu bagian tepung mocaf dan satu bagian tepung jagung. Kendati demikian, Wahyudi dan 30-an anggota Bimocaf akan tetap mengembangkan produk tersebut dengan harapan kelak bisa menggantikan beras yang selama ini jadi pangan pokok masyarakat.
Kepala Bidang (Kabid) Ketersediaan dan Diversifikasi Pangan, Baroto, mewakili Plt Kepala Kantor Ketahanan Pangan Wonogiri, Bambang Haryadi, membenarkan pengembangan beras analog bakal di mulai di Kota Gaplek. Pengembangan pangan pokok dari bahan baku lokal tersebut diawali dengan membuat mi yang sudah bisa diterima dengan baik di pasar.  Ia menambahkan awal Oktober ini pihaknya mentargetkan beras analog berhasil dibuat KUB Bimocaf di Desa Johunut tersebut.
Baroto yang pernah mencicipi beras analog buatan kabupaten lain mengaku memang rasa singkong masih kental pada beras analog. Tapi bentuknya sudah relatif sama dengan beras yang dikenal selama ini. Dia yakin dengan beberapa kreasi campuran bahan, masyarakat Wonogiri bisa menghasilkan beras analog yang layak dijual dan sesuai dengan selera masyarakat.

Sumber: Solo Pos